Friday, November 19, 2010

Milikilah Rasa Malu


Segalanya telah dimilikinya. Rumah besar dilereng bukit. Kereta mewah berderet-deret dihalaman rumah. Tanahnya puluhan hektar. Pelaburannya di mana-mana. Simpanan wang di bank-bank tak ternilai. Kekayaannya sudah lebih. Tak ada lagi yang kurang. Dalam hal kenikmatan dan kemegahan dunia, tak ada lagi yang diperlukan. Serba cukup. Barangkali hanya satu, yang masih belum dimilikinya, yaitu rasa malu.

Dalam hidupnya tak seperti kebanyakan orang. Di mana orang-orang harus bekerja dengan keras untuk mendapatkan wang. Orang harus berangkat pagi, sebelum fajar pergi ke bandar untuk bekerja. Membanting tulang. Larut malam baru pulang. Itupun terkadang yang didapatkannya belum pasti. Bagi kebanyakan orang hidupnya penuh dengan ketidakpastian. Seakan umurnya itu habis di jalan, hanya mengejar yang tak pasti. Berjam-jam menempuh perjalanan menuju tempat kerja. Itupun yang didapatkan terkadang belumlah mencukupi.



Tetapi, ada orang yang tidak mencari wang, justru wang yang mengejarnya, mendatanginya, dan datang dengan wang yang berlimpah-limpah. Ia hanya duduk-duduk di beranda rumahnya, dan orang-orang datang mengunjunginya.Orang datang ingin mendapatkan restu, dukungan, dan pengesahan. Mereka yang datang ingin mendapatkan dunia. Harta, jabatan, kekuasaan, dan kenikmatan hidup lainnya. Itulah yang sekarang menjadi ‘ilah-ilah’ baru di zaman moden ini. Banyak orang yang berjudi dengan hidup, yang bertujuan ingin mendapatkan simbol-simbol kenikmatan dunia.

Orang-orang yang mengejar jabatan, kedudukan, kekuasaan, dan kenikmatan dunia lainnya itu, kemudian mereka datang kepada empunya, yang dipercaya dapat memberikan jaminan dan kelayakan bagi dirinya menjadi pejabat, memiliki kedudukan, memiliki kekuasaan, dan mendapatkan kenikmatan dan kemuliaan dunia. Bagi mereka pencari kenikmatan dan kemuliaan dunia, yang berusaha mendapatkannya, dan pasti akan menemui empunya, yang menjadi pembuka kunci bagi tercapainya tujuan itu, serta tak segan-segan memberikan dan mengabulkan permintaan apa saja yang menjadi kehendak empunya.


Sekarang di zaman demokrasi, segalanya ditentukan oleh parti-parti, dan menuju jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, yang diinginkan oleh bagi semua orang yang menginginkannya, kunci dan pintu pembukanya adalah para pemegang kuasa parti. Suka atau tidak suka. Mereka yang ingin mendapatkan kenikmatan hidup berupa jabatan, kedudukan, dan kekuasaan, semua pintunya melalui parti, dan para pemegang kuasa parti.

Tentulah, segala kerosakan yang ada sekarang ini, manakala semua orang-orang yang memegang kuasa, tidak lagi memiliki ‘itijah’ (orientasi) kepada kehidupan akhirat, dan hanyalah kepada kenikmatan dunia, maka sekecil apapun, ketika ia memiliki kuasa, pasti kekuasaan itu akan diorientasikan untuk mendapatkan kenikmatan dunia sebesar-besarnya. Tidak mempedulikan segala akibatnya yang akan timbul.

Abu Mas’ud Uqbah bin Amr al-Anshari al-Badri ra, berkata, Rasulullah Shallahu alaihi wa salam bersabda, Sesungguhnya sebagian yang masih diingat orang dari ajaran para Nabi terdahulu, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. (HR. Bukhari)


Makna malu adalah mencegah dari melakukan segala sesuatu yang tercela, maka sesungguhnya memiliki malu, pada dasarnya, seruan untuk mencegah segala maksiat dan kejahatan. Rasa malu adalah ciri khas kebaikan, yang senantiasa diinginkan oleh manusia. Mereka melihat bahwa tidak memiliki rasa malu adalah aib. Rasa malu merupakan bagian dari kesempurnaan iman. “Malu adalah bagian dari keimanan”, dan dalam hadis lainnya “Rasa malu selalu mendatangkan kebaikan”. (HR. Bukhari dan Muslim).


Imam Ahmad dan Tirmidzi meriwayatkan secara marfu’ (bersumber dari sabda Rasulullah), bahwa Ibnu Mas’ud, “Merasa malu kepada Allah adalah dengan menjaga kepala dan apa yang dipikirkannya, perut dan apa yang ada didalamnya, dan selalu mengingat mati dan cobaan. Barangsiapa yang menghendaki akhirat, maka akan meninggalkan perhiasan dunia. Dan siapapun yang melakukan hal itu tersebut ia telah memiliki rasa malu kepada Allah”.



Jika dalam diri manusia tidak ada lagi rasa malu, baik yang bersifat bawaan maupun yang diusahakan, maka tidak ada lagi yang menghalangi untuk melakukan perbuatan keji dan hina. Bahkan menjadi seperti orang yang tidak memiliki keimanan sama sekali, sehingga tidak berbeza degan golongan syaitan.


Seperti dikatakan Baginda Rasulullah Shallahu alaihi wa sallam, “Jika tidak malu, berbuatlah sesukamu”. Ini menggambarkan betapa orang yang tidak memiliki lagi malu, pasti ia akan berbuat dan bertindak sesuka hatinya, tanpa lagi mempedulikannya. Berdusta, berbohong, berkhianat, memberikan wala’nya (loyalitasnya) kepada musuh-musuh Allah, seraya mengatakan sebaagai kemenangan. Menerima sogokan, diangap sebagai sedekah dan jariyah. Wang-wang yang syubhah dianggapnya sebagai yang halal. Bahkan, yang haram pun dianggapnya sebagai halal, yang dapat digunakan untuk mencapai tujuannya, terutama menggapai kenikmatan dunia.

Tak syak lagi sekarang ini, kalangan orang-orang yang mengerti tentang ‘din’ sekalipun mereka berlomba-lomba dalam rangka untuk melaksanakan kebersamaan dalam “ta’awanu alal ismi wal udwan”, bersama-sama dalam mengusung kebathilan, dan menegakkan yang fasik, dan durhaka kepada Allah, meskipun selalu mereka berdalih dalam rangka mencapai kemenangan Islam.
Mereka sudah tidak lagi memiliki rasa malu di depan Allah Azza Wa Jalla, berbuat maksiat dan durhaka, justeru mereka merasa menjalankan perintah-Nya. Inilah kehidupan orang-orang yang sudah kehilangan rasa malu. Wallahu’alam. (eramuslim-nasihatulama-mashadi)

No comments:

Post a Comment